Poros Warta – Gregorius Ronald Tannur kembali menjadi sorotan setelah memberikan kesaksian dalam persidangan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Ronald menegaskan bahwa dirinya tidak pernah meminta untuk divonis bebas dalam kasus pembunuhan yang menjeratnya pada tahun 2024.
Dalam kesaksiannya, Ronald menyatakan bahwa ia tidak pernah meminta bantuan pengacaranya, Lisa Rachmat, untuk mengupayakan vonis bebas. Ia menegaskan bahwa tidak ada instruksi darinya terkait upaya tersebut. Kendati demikian, ia mengakui bahwa saat jaksa penuntut umum membacakan dakwaan dalam persidangan kasus pembunuhan sebelumnya, dirinya merasa sangat bersalah.
Perasaan bersalah tersebut muncul karena ia merasa telah membuat kedua orang tuanya sedih serta menjadi perbincangan luas di masyarakat, terutama di dunia maya. Menurut Ronald, tekanan moral yang dialaminya sangat berat akibat kasus yang menyeret namanya itu.
Ronald Tannur hadir di persidangan sebagai saksi dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh tiga hakim PN Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Ketiga hakim tersebut diduga menerima suap senilai Rp4,67 miliar sebagai imbalan untuk memberikan putusan bebas bagi Ronald dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti.
Berdasarkan dakwaan jaksa, uang suap tersebut diberikan dalam beberapa tahap. Secara lebih rinci, suap yang diduga diterima oleh tiga hakim ini terdiri dari uang sebesar Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura, yang jika dikonversikan ke rupiah dengan kurs Rp11.900 per dolar Singapura, maka totalnya mencapai Rp3,67 miliar.
Uang tersebut diberikan melalui ibu Ronald, Meirizka Widjaja Tannur, serta Lisa Rachmat yang berperan sebagai penasihat hukum Ronald. Dari jumlah tersebut, Erintuah Damanik menerima uang tunai sebesar 48 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp571,2 juta. Sementara itu, sebanyak 140 ribu dolar Singapura atau Rp1,66 miliar diberikan kepada Erintuah dan Lisa. Sedangkan Heru Hanindyo menerima Rp1 miliar dan 120 ribu dolar Singapura atau setara Rp1,43 miliar.
Selain itu, uang tunai sebesar 140 ribu dolar Singapura dibagikan kepada tiga terdakwa. Erintuah mendapatkan 38 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp452,2 juta, Mangapul menerima 36 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp428,4 juta, dan Heru juga memperoleh jumlah yang sama, yakni 36 ribu dolar Singapura atau Rp428,4 juta. Sisanya sebesar 30 ribu dolar Singapura atau Rp357 juta disimpan oleh Erintuah.
Jaksa penuntut umum menegaskan bahwa ketiga terdakwa mengetahui bahwa uang yang diberikan oleh Lisa Rachmat bertujuan untuk memastikan vonis bebas bagi Ronald Tannur. Selain suap, ketiga hakim tersebut juga diduga menerima gratifikasi dalam bentuk uang tunai dengan berbagai mata uang asing, seperti dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, serta riyal Saudi.
Akibat perbuatan mereka, ketiga hakim tersebut dijerat dengan Pasal 12 huruf c, Pasal 6 Ayat (2), atau Pasal 5 Ayat (2), serta Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kasus ini menjadi perhatian publik, mengingat praktik suap dalam dunia peradilan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia. Sidang lanjutan kasus ini masih akan berlangsung, dan publik menantikan bagaimana putusan terhadap para terdakwa yang diduga terlibat dalam praktik korupsi tersebut.