RUU Masyarakat Adat: Kunci Kedaulatan Pangan Berbasis Kearifan Lokal

RUU Masyarakat Adat: Kunci Kedaulatan Pangan Berbasis Kearifan Lokal

Poros Warta – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat tidak hanya bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, tetapi juga memainkan peran penting dalam memastikan kedaulatan pangan yang berbasis pada kearifan lokal.

Veni Siregar, selaku Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menyatakan bahwa keberadaan RUU tersebut dapat menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui serta melindungi kearifan lokal masyarakat adat. Selain itu, keberadaannya juga diyakini akan membantu menjaga keberlanjutan sistem pangan berbasis komunitas.

Menurutnya, dengan adanya pengesahan RUU ini, masyarakat adat akan memperoleh jaminan terhadap pengetahuan dan praktik pengolahan pangan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Metode pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan oleh masyarakat adat dianggap telah terbukti mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan yang berbasis harmoni dengan alam dinilai sebagai salah satu solusi dalam mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan.

Veni juga mengungkapkan bahwa pengakuan serta perlindungan terhadap masyarakat adat harus menjadi bagian dari sistem pangan nasional. Pengesahan RUU yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dan masih menunggu persetujuan dari DPR RI ini diharapkan dapat menjadi langkah konkret dalam memperkuat sistem pangan dari akar rumput.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat juga menekankan pentingnya menjadikan kebijakan pangan nasional lebih inklusif dengan memberikan perhatian lebih pada peran masyarakat adat dalam pengelolaan pangan. Dengan menjaga dan memperkuat sistem pangan berbasis adat, keanekaragaman hayati dapat tetap dilestarikan. Selain itu, keberlanjutan akses pangan bagi generasi mendatang juga dapat dipastikan.

Sebagai contoh, masyarakat adat Boti di Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menunjukkan bagaimana kearifan lokal mampu mendukung sistem pangan yang mandiri. Mereka memiliki kemampuan dalam mengelola sumber daya alam, termasuk memproduksi sendiri minyak kelapa yang digunakan untuk kebutuhan memasak. Teknik pengelolaan lahan yang mereka terapkan juga memungkinkan penanaman serta panen umbi-umbian, meskipun kondisi tanah di wilayah mereka tergolong kering.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, seorang anggota masyarakat adat Boti bernama Bebie menjelaskan bahwa komunitas mereka memiliki sistem sosial yang kuat untuk memastikan tidak ada anggota yang mengalami kekurangan pangan. Selain mengelola kebun pribadi, masyarakat adat Boti juga memiliki kebun komunal yang diolah secara kolektif oleh seluruh anggota komunitas. Hasil panen dari kebun tersebut kemudian diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan, sehingga tidak ada anggota komunitas yang mengalami kelaparan.

Lebih lanjut, Bebie mengungkapkan bahwa meskipun Kabupaten Timor Tengah Selatan termasuk dalam daerah dengan angka kasus stunting yang tinggi di Provinsi NTT, tidak ada satu pun kasus stunting yang ditemukan di komunitas masyarakat adat Boti. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pangan berbasis kearifan lokal yang mereka jalankan mampu menjaga keseimbangan gizi serta ketahanan pangan komunitas mereka.

Melalui pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat, diharapkan berbagai praktik pengelolaan pangan berbasis adat dapat terus dilestarikan dan dijadikan sebagai bagian dari kebijakan pangan nasional. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, kemandirian pangan berbasis komunitas dapat terus diperkuat, sekaligus memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat tetap terlindungi dalam sistem hukum yang lebih jelas dan terstruktur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *