Poros Warta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa proses pencampuran atau blending bahan bakar minyak (BBM) diperbolehkan selama kualitasnya tetap sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pernyataan ini disampaikannya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu.
Pernyataan tersebut merespons kekhawatiran publik terkait dugaan pengoplosan Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92). Bahlil menjelaskan bahwa proses blending umumnya dilakukan di kilang minyak atau refinery guna menyesuaikan spesifikasi BBM dengan standar yang berlaku. Selama proses ini dilakukan dengan benar dan sesuai regulasi, maka tidak ada aturan yang dilanggar.
Namun, dalam kasus yang sedang disorot, ditemukan adanya penyimpangan dalam tata kelola BBM. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, diketahui melakukan pembelian BBM dengan spesifikasi RON 92, meskipun sebenarnya yang diperoleh hanya RON 90 atau lebih rendah. Akibat perbuatannya, ia kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam dugaan kasus korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018–2023.
Dugaan korupsi ini menyebabkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, mencapai Rp193,7 triliun. Besarnya angka tersebut menunjukkan betapa seriusnya dampak dari penyimpangan dalam tata kelola energi nasional.
Sebagai langkah perbaikan, Bahlil menekankan pentingnya penataan ulang perizinan impor BBM. Ia mengungkapkan bahwa sistem perizinan yang sebelumnya diberikan untuk satu tahun penuh kini telah diubah menjadi hanya enam bulan. Kebijakan ini diambil agar proses evaluasi dapat dilakukan secara berkala, sehingga potensi penyimpangan dapat diminimalkan.
Selain itu, pemerintah juga mengambil langkah strategis dalam pengelolaan produksi minyak dalam negeri. Minyak yang sebelumnya diekspor kini diwajibkan untuk diolah di dalam negeri. Bahlil menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian energi nasional serta memastikan bahwa produk minyak bumi yang dihasilkan dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.
Di sisi lain, Pelaksana Tugas Harian (Pth) Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo, menanggapi isu yang berkembang terkait kualitas BBM Pertamax atau RON 92. Ia menyatakan bahwa penambahan zat aditif dalam BBM bukan merupakan praktik oplosan, melainkan upaya untuk meningkatkan performa bahan bakar.
Menurut Ega, zat aditif yang ditambahkan dalam Pertamax memiliki beberapa fungsi, seperti meningkatkan daya tahan mesin, mengurangi karat, serta meningkatkan efisiensi pembakaran. Ia menegaskan bahwa seluruh produk BBM yang dijual oleh Pertamina telah memenuhi spesifikasi yang ditetapkan, sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa Pertamax merupakan BBM hasil oplosan.
Dengan berbagai langkah yang telah diambil oleh pemerintah dan Pertamina, diharapkan tata kelola BBM di Indonesia semakin transparan dan akuntabel. Masyarakat pun perlu mendapatkan edukasi yang lebih baik terkait proses blending BBM agar tidak mudah termakan isu yang belum terbukti kebenarannya.
Ke depan, pemerintah berkomitmen untuk terus memperketat pengawasan terhadap industri energi nasional. Dengan kebijakan yang lebih ketat serta sistem evaluasi yang berkelanjutan, diharapkan praktik-praktik yang merugikan negara dapat diminimalkan. Selain itu, upaya pengolahan minyak di dalam negeri juga diharapkan mampu memperkuat ketahanan energi nasional serta memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat.
