Poros Warta – Pola pelaksanaan program transmigrasi di Indonesia kini mengalami perubahan signifikan. Jika sebelumnya kebijakan ini diterapkan secara top-down atau berdasarkan arahan langsung dari pemerintah pusat, kini pendekatan yang digunakan lebih bersifat bottom-up. Perubahan ini memungkinkan pemerintah daerah untuk berinisiatif dalam mengusulkan pelaksanaan program transmigrasi sesuai dengan kebutuhan wilayahnya.
Wakil Menteri Transmigrasi (Wamentrans), Viva Yoga Mauladi, menjelaskan bahwa pemerintah daerah kini memiliki kesempatan untuk mengajukan permintaan terkait program transmigrasi di wilayah mereka. Ia menyampaikan bahwa beberapa daerah telah menyatakan kebutuhan mereka akan tenaga transmigran untuk mengelola lahan kosong yang tersedia. Sebagai contoh, Kabupaten Halmahera Selatan membutuhkan sekitar 250 kepala keluarga, sementara Kabupaten Siak mengusulkan sekitar 500 kepala keluarga untuk ditempatkan di wilayahnya.
Menurutnya, keberadaan transmigran tidak hanya berperan dalam mengelola lahan kosong, tetapi juga berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi daerah. Dengan adanya tenaga kerja baru di kawasan yang sebelumnya kurang berkembang, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dapat diciptakan. Selain itu, program transmigrasi juga memberikan dampak positif terhadap pemekaran wilayah administrasi.
Sejak pertama kali diterapkan pada tahun 1950, program transmigrasi telah memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan berbagai wilayah administrasi baru di Indonesia. Hingga saat ini, program tersebut telah menghasilkan 1.567 desa, 466 kecamatan, 114 kabupaten/kota, serta tiga provinsi baru, yaitu Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, dan Papua Selatan.
Viva Yoga juga mengungkapkan bahwa saat ini Kementerian Transmigrasi memiliki sekitar 3,1 juta hektare lahan serta 619 kawasan transmigrasi yang tersebar di berbagai wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali. Lahan-lahan tersebut, menurutnya, dapat dimanfaatkan dengan mekanisme kerja sama melalui skema Izin Pelaksanaan Transmigrasi (IPT). Skema ini memiliki konsep serupa dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterapkan oleh Kementerian Kehutanan.
Dalam skema IPT, pemanfaatan lahan akan dilakukan tanpa mengubah fungsi serta peruntukan awalnya. Dengan demikian, keberadaan transmigran tetap dapat dipertahankan tanpa mengganggu program utama transmigrasi. Viva Yoga menjelaskan bahwa pola kerja sama yang diterapkan dalam IPT akan menggunakan sistem inti-plasma. Melalui sistem ini, diharapkan manfaat ekonomi dapat tersebar lebih luas ke masyarakat di kawasan transmigrasi, sehingga kesejahteraan warga setempat meningkat.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa dalam skema IPT, peluang investasi terbuka lebar bagi berbagai sektor, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, hingga pertambangan. Dengan adanya investasi tersebut, diharapkan terjadi peningkatan produktivitas ekonomi di kawasan transmigrasi, yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi seluruh masyarakat.
Transformasi kebijakan transmigrasi ini diharapkan mampu menjawab tantangan pembangunan wilayah, terutama di daerah-daerah yang masih memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Dengan melibatkan pemerintah daerah dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, program transmigrasi tidak hanya menjadi solusi untuk redistribusi penduduk, tetapi juga menjadi strategi dalam menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di berbagai wilayah Indonesia.
