Poros Warta – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan evaluasi ulang terhadap kualitas bahan bakar minyak (BBM) yang didistribusikan oleh Pertamina. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menilai bahwa pengawasan terhadap BBM yang beredar di masyarakat perlu diperketat guna memastikan apakah ada penyimpangan dari standar kualitas yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Desakan tersebut disampaikan sebagai bentuk kepedulian terhadap hak-hak konsumen agar mendapatkan produk BBM yang sesuai dengan spesifikasi yang dijanjikan. Selain itu, YLKI juga meminta agar hasil pemeriksaan berkala yang dilakukan oleh Dirjen Minyak dan Gas Bumi (Migas) dapat dipublikasikan kepada masyarakat. Menurut Tulus, keterbukaan informasi tersebut penting agar konsumen bisa memperoleh data yang akurat dan lengkap terkait kualitas BBM yang digunakan sehari-hari.
Saat ini, posisi Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) di Kementerian ESDM masih dipegang oleh seorang pelaksana tugas (Plt), yaitu Tri Winarmo, yang juga menjabat sebagai Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba). Sejak Achmad Muchtasyar dinonaktifkan pada 10 Februari 2025, belum ada pengganti definitif yang ditunjuk oleh pemerintah.
Menanggapi permintaan YLKI tersebut, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah akan membentuk sebuah tim khusus untuk memastikan spesifikasi BBM yang dijual kepada masyarakat. Langkah ini diambil sebagai upaya merespons keresahan publik yang belakangan muncul terkait isu pencampuran BBM jenis Pertalite dengan Pertamax.
Bahlil menegaskan bahwa pemerintah ingin memberikan kepastian kepada masyarakat agar mereka mengetahui spesifikasi dan harga bahan bakar yang mereka beli. Dengan adanya tim tersebut, diharapkan transparansi dalam distribusi BBM dapat semakin meningkat, sekaligus mencegah potensi penyimpangan yang merugikan konsumen.
Masalah terkait kualitas BBM semakin menjadi perhatian setelah Kejaksaan Agung mengungkap dugaan praktik manipulasi dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga. Dalam kasus tersebut, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, diduga melakukan pembayaran untuk produk RON 92, tetapi yang sebenarnya dibeli adalah RON 90 atau lebih rendah.
Setelah pembelian dilakukan, bahan bakar dengan nilai oktan lebih rendah itu kemudian dicampur di fasilitas penyimpanan agar mencapai kadar RON 92. Praktik ini tidak diperbolehkan karena dapat mempengaruhi kualitas dan performa BBM yang digunakan oleh masyarakat.
Temuan tersebut semakin memperkuat dugaan adanya korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018–2023. Kasus ini diduga telah menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, yaitu mencapai Rp193,7 triliun.
Meski demikian, PT Pertamina (Persero) membantah kabar yang menyebutkan adanya praktik pencampuran BBM jenis Pertamax dengan Pertalite. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, memastikan bahwa produk BBM yang beredar di masyarakat telah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
Pertamina juga menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk menjaga kualitas bahan bakar yang dijual kepada konsumen. Namun, dalam rangka menjaga kepercayaan publik, perusahaan pelat merah tersebut menyatakan siap bekerja sama dengan pihak berwenang dalam proses investigasi yang sedang berlangsung.
Kasus ini menunjukkan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap sektor energi, terutama dalam hal distribusi dan kualitas BBM. Dengan adanya desakan dari YLKI dan langkah konkret dari pemerintah, diharapkan konsumen dapat lebih terlindungi serta mendapatkan produk yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.