Poros Warta – Penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri kerap menjadi perbincangan di kalangan umat Islam. Metode yang digunakan umumnya terbagi menjadi dua, yaitu hisab dan rukyat. Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, mengungkapkan bahwa kedua metode ini sebenarnya saling melengkapi, bukan berseberangan seperti yang sering dipersepsikan masyarakat.
Dalam sebuah gelar wicara yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi BRIN, Thomas menjelaskan bahwa pada awalnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (SAW) mengajarkan metode rukyat, yaitu pengamatan langsung terhadap hilal sebagai penentu awal bulan hijriah. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, metode hisab mulai diperkenalkan sebagai cara menghitung posisi bulan dan matahari secara akurat.
Meskipun demikian, Thomas menilai bahwa di kalangan masyarakat sering muncul anggapan bahwa hisab dan rukyat adalah dua metode yang bertentangan. Padahal, keduanya berasal dari akar yang sama. Hasil observasi rukyat pada masa lalu telah diformulasikan menjadi metode perhitungan matematis yang kini dikenal sebagai hisab. Dengan demikian, perhitungan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi kapan hilal dapat terlihat di langit.
Akurasinya pun semakin meningkat seiring kemajuan teknologi. Thomas mencontohkan bahwa perhitungan astronomi dalam fenomena gerhana matahari kini bisa dilakukan hingga hitungan detik. Akurasi semacam ini juga diterapkan dalam hisab untuk menentukan posisi hilal. Meski begitu, ia menegaskan bahwa baik hisab maupun rukyat memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Rukyat memiliki keunggulan dalam memberikan bukti fisik terhadap perubahan siklus bulan. Namun, metode ini sangat bergantung pada kondisi cuaca dan kontras cahaya senja. Sebaliknya, hisab menawarkan perhitungan yang sangat akurat, tetapi tidak semua umat Islam menerimanya tanpa adanya pembuktian melalui rukyat. Oleh karena itu, kedua metode ini sebaiknya tidak dipertentangkan, melainkan digunakan secara bersamaan untuk memperoleh hasil yang lebih akurat.
Perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriah di Indonesia kerap terjadi bukan karena metode yang digunakan, melainkan perbedaan kriteria dalam menentukan hilal. Thomas mengungkapkan bahwa kriteria yang digunakan dalam mengamati hilal bisa berbeda-beda. Beberapa pihak mensyaratkan ketinggian tertentu agar hilal dianggap terlihat, sementara yang lain mempertimbangkan jarak antara bulan dan matahari yang disebut elongasi.
Dengan semakin berkembangnya metode dan teknologi astronomi, Thomas berharap bahwa ke depannya penentuan awal bulan Hijriah bisa semakin akurat dan diterima oleh berbagai pihak. Baik hisab maupun rukyat memiliki tujuan yang sama, yakni memastikan ketepatan dalam menjalankan ibadah sesuai syariat Islam. Jika keduanya dipahami sebagai metode yang saling melengkapi, bukan sebagai alat perdebatan, maka umat Islam dapat lebih mudah menyatukan pandangan dalam menentukan awal bulan hijriah.